Hukum jual beli salam
Jual beli salam diperbolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan dalil-dalil Alquran dan As-Sunnah serta ijma’, juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-qiyas ash-shahih).
Pertama: Dalil dari Alquran adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah:282)
Sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, menjadikan ayat ini sebagai dasar bolehnya jual beli salam. Beliau berkata,
أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُوْنَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ وَأَذِنَ فِيْهِ ثُمَّ قَرَأَ << يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf, yang terjamin hingga tempo yang ditentukan, telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Alquran. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak dengan cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.’” (Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam kitab Irwa’ Al-Ghalil, no. 340, dan beliau katakan, “Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Asy-Syafi’i, no. 1314; Al-Hakim, 2:286; Al-Baihaqi, 6:18)
Kata “apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai” bersifat umum; meliputi tidak tunai dalam pembayaran dan tidak tunai dalam pemberian barang dagangannya. Apabila tidak tunai dalam pemberian barangnya maka dinamakan “salam”. (Lihat keterangan Syekh Ibnu Utsaimin tentang hal ini di Syarhu Al-Mumti’, 9:49)
Kedua: Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma yang berbunyi,
قَدِمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), serta hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.’” (Muttafaqun ‘alaih)
Ketiga: Ulama Islam telah ber-ijma’ (berkonsensus) tentang kebolehan sistem jual beli salam ini, seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu Al-Mundzir dalam kitab Al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudamah rahimahullah menyetujui penukilan ijma’ ini, dengan menyatakan, “Semua ulama, yang kami hafal, telah sepakat menyatakan bahwa as-salam itu boleh.” (Al-Mughni, 6:385)
Keempat: Kebolehan akad jual beli salam ini juga sesuai dengan analogi akal dan kemaslahatan manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, dalam ungkapan beliau, “Analogi akal dan hikmah menuntut bolehnya jual beli ini, karena kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna dengan jual beli salam. Orang yang membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran uang kontan, dan pembeli mengambil keuntungan dengan mendapatkan barang lebih murah serta dengan nilai harga di bawah (harga) pada umumnya. Kemaslahatan kembali kepada keduanya.” (Min Fiqhi Al-Mu’amalat, hlm. 150).
Oleh karena itu, Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Kebolehan muamalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan dan kemurahan syariat Islam karena muamalah ini berisi hal-hal yang mempermudah orang dan mewujudkan maslahat bagi mereka, di samping bebas dari riba dan terhindar dari seluruh larangan Allah.” (Al-Mulakhash Al-Fiqh, 2:60).
Artikel www.PengusahaMuslim.com